Masa transisi antara presiden rentan dimanfaatkan oleh kepentingan
politik sesaat yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Pasal keharusan
izin Majelis Kehormatan DPR buat memeriksa anggota parlemen dalam UU
MPR DPR DPD dan DPRD serta klausul pemilihan kepala daerah via DPRD
dalam UU Pilkada menjadi contohnya.
Kebijakan dan peraturan “colongan” dalam masa transisi itu ternyata
sudah terjadi sejak perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada
Presiden Suharto. Saat itu muncul undang-undang yang menguntungkan
Amerika Serikat dan bisnisnya, terutama perusahaan tambangnya.
Bradley R. Simpson, research fellow di National Security Archive
menemukan lobi Amerika dalam penyusunan Undang-undang Penanaman Modal
Asing pada 1960-an itu ketika memimpin proyek mendeklasifikasi dokumen
AS berkaitan dengan Indonesia dan Timor-Timur selama masa pemerintaha
Suharto (1965-1998).
Peneliti hubungan luar negeri dan sejarah internasional AS di University
of Maryland, itu menuangkannya ke dalam buku Economists with Guns.
Berikut ini nukilan buku tersebut:
Laporan soal tanah Papua yang kaya tembaga itu sampai ke tangan para
geolog Freeport Sulphur pada 1959. Mereka mencoba mendapatkan akses ke
daerah itu, namun Belanda yang masing menguasainya menolak mentah-mentah
permintaan perusahaan asal New Orleans, Amerika Serikat tersebut.
Setelah Papua diambil Indonesia, Freeport Sulphur minta izin ke sana
tapi mentok. Tapi mereka tak menyerah hingga akhirnya pada April 1965
mendapat kesepakatan awal dengan Menteri Pertambangan RI buat mengolah
tembaga dan nikel di sana.
Namun pada bulan yang sama Presiden Sukarno menutup pintu terhadap
penanaman modal asing. Soekarno juga menasionalisasi perusahaan asing.
Setelah peristiwa G30S, Freeport Sulphur mulai melobi jenderal di kubu
Suharto. Setelah Soekarno meneken Surat Perintah 11 Maret 1966 alias
Supersemar, teknisi Freeport Sulphur berhasil mendapat kesempatan masuk
ke Papua dari pantai selatannya.
Mereka harus bergegas karena perusahaan pertambangan Mitsui dari Jepang
juga mengincar kandungan tembaga di sana. Akhirnya setelah perjalanan
sejauh 95 kilometer, teknisi Freeport Sulphur tercengang saat menemukan
Ertsberg, begitu sebutan mereka buat gunung setinggi 182 meter yang
mengandung biji tembaga berkualitas tinggi.
Freeport Sulphur langsung melobi Presiden Lyndon B. Johnson. Freeport
Sulphur memang punya kontak ke Gedung Putih karena mantan Direktur Iklan
dan Informasi Freeport, James Moyer, sebelumnya bergabung jadi staf
Gedung Putih mengikuti jejak saudara lelakinya, Bill Moyer.
Forbes Wilson dan Robert Duke dari Freeport menyampaikan kepada
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bahwa mereka butuh tiga hal buat
menjalankan bisnis di Papua. Tiga hal itu: perjanjian perlindungan
penanaman modal, iklim investasi yang baik, dan hak konsesi yang jelas
tanpa bagi hasil. Freeport Sulphur hanya satu dari banyak perusahaan
Amerika yang meminta itu kepada pemerintahnya.
Pada saat yang sama di Indonesia, Suharto sebagai pemegang kendali
pemerintahan sehari-hari kesulitan menghadapi krisis ekonomi. Berbagai
cara sudah dicoba, seperti menaikkan suku bunga dan memangkas semua
impor kecuali kebutuhan pokok demi menyelamatkan kas negara.
Suharto pada akhir 1966 mencoba melobi negara kreditor agar menjadwalkan
ulang pembayaran utang Indonesia. Para kreditor ketika bertemu di Paris
tak terlalu semangat menanggapinya.
Kala itu CIA menyusun laporan bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung
pada bantuang asing. Jika bantuan dari pemerintah asing seret seperti
saat itu, maka swasta berpeluang besar bisa masuk.
Duta Besar Marshall Green menemui Suharto pada Mei 1966 buat
menyampaikan bahwa bantuan negara asing kepada Indonesia akan sangat
terbatas sekali. Sedangkan, kata dia, bantuan swasta akan lebih
menguntungkan buat menjalankan industri di Indonesia.
Tapi tentu saja buat masuknya modal asing, Suharto perlu mengabaikan
kebijakan larangan modal asing yang dibuat Soekarno. Perusahaan Amerika
Serikat yang dinasionalisasi juga perlu dikembalikan.
Ali Budiarjo, pejabat yang kemudian bekerja di Freeport, menceritakan
saat itu di pemerintahan tak ada ada yang tahu cara menerima modal asing
itu. “Tidak ada instansi yang mengurusinya dan tidak ada undang-undang
soal penanaman modal asing,” kata Ali.
Masalahnya, saat menyusun aturan penanaman modal asing buat mengakomodir
Freeport, Kepala Direktorat Kerjasama Ekonomi Multilateral Dr. Jusuf
Ismail malah memintan bantuan kepada Kedutaan Amerika. Ia minta contoh
aturan dan saran buat undang-undang penanaman modal asing.
Pengaruh Amerika dalam penyusunan undang-undang itu, kata Bradley
Simpson, sangat besar. Bahkan konsultan dari Van Sickle Association dari
AS, membantu ekonom Widjojo Nitisastro buat menyusunnya.
Pada September 1966 draf aturan itu rampung. Anehnya, draf malah dikirim
ke kedutaan Amerika buat meminta masukan dari investor negara itu.
Departemen Luar Negeri AS mengirim revisi baris demi baris. Mereka
mengeluhkan kewenangan pemerintah yang terlalu besar dan area yang
dikuasai pemerintah justru yang diincar oleh perusahaan Amerika.
Undang-undang itu dianggap mengecewakan oleh investor. Simpson menulis,
Widjojo lantas merevisinya sesuai masukan dari Amerika sehingga
klausulnya berisi “liberalisasi maksimum”.
Situasi mendadak jadi gawat buat Amerika karena pada November 1966, Uni
Soviet bersedia menjadwalkan ulang pembayaran utang Indonesia. Maka
Amerika Serikat perlu mempercepat usaha agar masuknya investor dari
negara mereka tak terbendung lagi, apalagi tersaingi oleh rival
utamanya: Uni Soviet.
Pada akhir 1966, Marshall Green melaporkan ke Washington DC bahwa masih
ada satu ganjalan: Soekarno. Presiden Soekarno berusaha menghalangi
pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan menentang langkah
kubu militer yang dipimpin Suharto.
“Suharto sekarang telah mengambil keputusan bahwa ia harus menyingkirkan
Soekarno dalam beberapa bulan mendatang,” kata Green. Simpson
mengatakan, penyingkiran Soekarno berarti penghilangan terakhir hambatan
yang merintangi bantuan penuh dari Amerika Serikat.
Dari kawat-kawat diplomatik yang dikirimkan Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Jakarta, diketahui para pejabat militer rajin bertandang dan
menjelaskan rencana mereka menekan Sukarno dengan melibatkan MPRS,
kelompok pemuda, berbagai front, dan petinggi Angkatan Darat.
Yang terjadi setelahnya, agaknya semua orang Indonesia sudah mafhum.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyebut pelengseran itu sebagai,
“Orang tua yang menyedihkan itu diubah dari perwujudan bangsa Indonesia
menjadi peninggalan sejarah.”
Amerika Siap Investasi US$ 61 Miliar di Indonesia!!
Sejumlah investor asal Amerika Serikat menyatakan siap berinvestasi di
Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Amerika sudah menyiapkan dana
sebesar US$ 61 miliar untuk investasi pada semua sektor bisnis di dalam
negeri.
"Mereka (Amerika Serikat) siap investasi sebesar US$ 61 miliar hingga 5
tahun ke depan," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono
Soesilo, usai acara ‘US - Indonesia Investment Summit’ di Hotel Mandarin
Oriental, Jakarta, Rabu (12/11).
Menurut Indroyono, ada beberapa sektor potensial bagi investor Amerika
untuk berinvestasi di Indonesia. Peluang investasi ini terkait rencana
pemerintah, diantaranya pembangunan 24 pelabuhan, pembangunan jalur
kereta api di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Pembangunan
listrik, pengembangan sektor maritim dan kelautan, serta pariwisata.
Dalam acara tersebut, pemerintah menawarkan beberapa peluang investasi
ke pengusaha Amerika Serikat (AS). Wakil Menteri Luar Negeri Abdurahman
M. Fachir mengatakan kalau pemerintah siap bekerja sama dengan para
pelaku usaha.
Pemerintah, kata dia juga akan memfasilitasi para pengusaha Amerika
Serikat yang ingin berinvestasi di Indonesia. Selain meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas, pemerintah berjanji akan menyederhanakan
proses perijinan.
"Presiden Jokowi akan sederhanakan prosesnya, dalam bentuk semacam
layanan satu pintu," ujar Fachir saat member sambutan dalam acara
tersebut. Dia berharap pengusaha Amerika dapat berinvestasi di sektor
infrastruktur, khususnya pelabuhan, jalan, jalur kereta api.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) porsi investasi
Amerika terhadap total investasi asing yang masuk ke Indonesia masih di
bawah 6 persen. Namun, saat ini Amerika mengaku menaruh minat investasi
yang cukup besar pada Indonesia
Perwakilan Departemen Perdagangan Amerika Serikat Arun Kumar menganggap
Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Untuk itu dia
berharap kerjasama di bidang ekonomi dapat ditingkatkan.
"Masa depan Amerika Serikat tergantung masa depan Indonesia," ujarnya.