"Walaupun alasan kuncinya ada di Indonesia, tetapi kalau server di luar, faktor kemanan dan kerahasiaan tidak terjamin," kata Tjahjo Kumolo kepada wartawan seusai membuka 'Rapat Kerja Nasional Pencatatan Sipil Tahun 2014' di Yogyakarta, Ahad (16/11) malam.
Karena itu, Tjahjo Kumolo memutuskan untuk menghentikan pembuatan e-KTP hingga Desember 2014 mendatang. Penghentian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dan mengecek kembali kerahasiaan data penduduk Indonesia.
Tjahjo mengaku menemukan ada jutaan e-KTP Indonesia dipalsukan yang dicetak Cina dan Paris. "Hologram yang ada di e-KTP palsu, sah," katanya.
Untuk kasus ini, Tjahjo Kumolo menyerahkan pengusutannya kepada Polisi. Menurutnya hal ini harus diusut tuntas agar jangan sampai data kependudukan dan rahasia pemilik identitas ini yang mempunyai akses ke bank, paspor dan lain-lain dimonitor orang lain.
Karena itu, penghentian pembuatan e-KTP dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kerahasiaan identitas penduduk Indonesia. "Secara umum, ini merupakan tanggung jawab negara, negara ya Kemendagri," tandasnya.
Quote:
"Kemendagri perlu evaluasi dan merancang strategi baru atau
perbaikan sistem e-KTP mulai 2011," ujar Tjahjo dalam keterangan
tertulisnya kepada VIVAnews. Setidaknya, ia melanjutkan, dengan penghentian sementara proses pembuatan e-KTP itu Kementerian Dalam Negeri dapat melakukan evaluasi terhadap kualitas dan kuantitas data e-KTP yang sudah dihimpun. Evaluasi juga bisa dilakukan terhadap sistem teknologi, sistem administrasi kependudukan, serta sistem keamanan data e-KTP. Pemerintah pun perlu menginventarisasi ulang ketersediaan perangkat dan blanko. Tjahjo menjelaskan, aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan e-KTP yang berbeda melahirkan dua database atau basis data yang terpisah. Basis data SIAK adalah data operasional administrasi di daerah. Sedangkan basis data e-KTP merupakan data awal dan hanya sekali update. Aplikasi ini indikasinya masih dikelola oleh pengembang dari luar negeri. "Pengembangan aplikasi dilakukan secara remote dari luar sehingga muncul potensi data kependudukan diambil pihak yang tidak berhak," kata Tjahjo. |
Kasus bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa menjadi contoh. Namun pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP ala Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP dilakukan negara? Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik dalam kaitan dengan e-KTP adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia. Perhatian publik selama ini tertuju pada dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP. Seperti pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional, pemenang tender sudah dirancang sedari awal.
Sejumlah rapat, yang dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor (termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi jauh sebelum pemenang tender diumumkan. L-1 IDENTITY SOLUTIONS TERLEPAS dari semua itu, ada baiknya kita mencermati keberadaan L-1 dalam proyek e-KTP (L-1 mengutus seorang Lead Solution Architect ke Indonesia selama pengadaan e-KTP), bukan dalam konteks kolusi proyek tapi keamanan nasional.
L-1 Identity Solutions Inc., perusahaan besar dengan nama besar, tapi kredibilitas meragukan. L-1, yang berbasis di Stamford, Connecticut, AS, adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar. Perusahaan, yang berdiri pada Agustus 2006 ini mengambil spesialisasi dalam bidang teknologi identifikasi biometrik (seperti sidik jari, retina, dan DNA). L-1 juga menyediakan jasa konsultan dalam bidang intelijen. Pendapatan L-1 per tahun diperkirakan mencapai angka US$1 miliar pada 2011.
Stanford Washington Research Group, dalam lapoannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar selama periode 2006-2011. L-1 menebar proyek hingga ke lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1 digandeng Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam proyek visa, paspor, dan SIM. Sejumlah kalangan menyebut L-1 kian memonopoli bisnis identitas di AS, dan secara global, apalagi setelah mereka diakuisisi Safran Morpho, perusahaan keamanan multinasional asal Prancis, pada Juli 2011. Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1, secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka, pada umumnya, memiliki latar belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman. L-1 mencatat nama George Tenet, mantan Direktur CIA, dalam dewan direktur.
Pada 2006, CEO L-1 Robert V LaPenta pernah berujar, “Anda tahu, kami tertarik dengan CIA, dan kami memiliki Tenet.” Tenet terkenal berkat kemahiran berdusta. Dia terungkap memberi informasi intelijen palsu kepada diplomat AS soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak, yang kemudian berujung pada invasi Irak 2003. Quote: Ada nama lain, seperti Laksamana James M Loy sebagai direktur. Karir Loy merentang dari komandan US Cost Guard (1998-2002), wakil menteri untuk Keamanan Transportasi (2002-2003), dan wakil menteri keamanan dalam negeri (2003-2005). Robert S Gelbard, salah satu anggota dewan direktur, pernah menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden AS untuk Balkan pada masa pemerintahan Bill Clinton.
Yang lebih menarik, mantan wakil menteri luar negeri 1993-1997 itu pernah bertugas di Indonesia sebagai duta besar pada 1999-2001. Nama direktur lainnya adalah BG (Buddy) Beck, bekas anggota Dewan Sains Pertahanan (DBS), yang memberi rekomendasi perkara iptek kepada militer AS. Lalu, Milton E Cooper, mantan kepala Dewan P
Dan Louis H Freeh, mantan direktur FBI (1993-2001). Safran Morpho, pemilik baru L-1 juga tak terlalu ‘bersih’ dalam urusan figur kontroversial. Di sana duduk Michael Chertoff, mantan menteri Keamanan Dalam Negeri AS pada masa pemerintahan George W Bush, sebagai penasehat strategis. Chertoff adalah salah seorang perancang USA PATRIOT Act, undang-undang yang menumbuhsuburkan pengawasan dan penyadapan oleh FBI terhadap telepon, e-mail, dan data pribadi lainnya. Chertoff juga pendukung maniak pemindaian seluruh tubuh (full body scanning) (teknologi pemindai “full body” yang diterapkan AS mampu menunjukkan permukaan telanjang kulit di bawah pakaian, termasuk lekuk payudara dan kemaluan.
Bahkan, versi terbaru dilaporkan bisa menghadirkan image “full color”). Nama di atas tentu saja tak bisa secara langsung dihubungkan dengan potensi ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional Indonesia. Namun, kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Paman Sam sudah seharusnya menjadi perhatian.
Quote:
Quote: ...kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Paman Sam sudah seharusnya menjadi perhatian... Di AS sendiri, muncul gerakan publik “Stop Real ID”. Gerakan itu menolak proyek “Real ID” (semacam e-KTP). Demikian pula di India. Koalisi LSM pemerhati hak sipil membentuk gerakan yang menolak proyek Unique Identity Number (UID) yang disebut “Aadhaar”. Gerakan itu mereka sebut “Say No to Aadhaar”. Baik Real ID di AS maupun Aadhaar di India melibatkan L-1 Identity Solutions sebagai vendor dan konsultan. |
Quote:
Pakar: Kalau Server E-KTP di Negara Lain, Sama Saja Jual Seluruh Data Bangsa kepada Pihak AsingPakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Deddy Syafwan, menyesalkan server basis data kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP seluruh penduduk Indonesia ternyata berada di luar negeri.
"Pada awalnya, saya kira server-nya ada di Indonesia, tetapi ternyata di Belanda. Jika demikian, maka ada kepentingan luar yang bermain pada E-KTP ini," ujar Deddy di Jakarta, Minggu (16/11/2014), seperti dikutip Antara.
Data E-KTP, kata dia, sangat penting dan berharga bagi bangsa Indonesia, meskipun masih banyak penduduk yang datanya bermasalah atau belum terdata.
"Dengan dasar apa pun, kalau server-nya berada di negara lain, sama saja menjual seluruh data bangsa ini ke (pihak) asing," ucapnya.
Data kependudukan adalah data dasar terpenting di sebuah negara. Data tersebut terkait kelahiran, agama, pendidikan, alamat, nomor induk kependudukan, dan yang terpenting, sidik jari.
"Semua ini adalah data prinsipiil kita. Buat apa kita hidup, kalau kerahasiaan data kita sudah tidak ada? Pihak asing akan sangat mudah memetakan kondisi demografi kita, dan yang terpenting E-KTP sudah tidak aman lagi," ujar dia.
Ia mempertanyakan mengapa Kementerian Dalam Negeri begitu mudah menaruh server-nya di Belanda. Padahal, di dalam negeri banyak lokasi yang aman untuk server.
Agen Casino Online Live Terbaik saat ini
BalasHapusdapatkan Bonus Rollingan 0.5% setiap minggunya
Mainkan berbagai Permainan Menarik Lainnya juga guys...
Join Now https://bit.ly/2U5X3ih
untuk melakukan pendaftaran akun secara gratis.. bersama AGEN-S128
Info Lebih Lanjut Hubungi Contact Kami :
BBM : D8B84EE1 / BBM : AGENS128
WhatsApp : 085222555128
Numpang posting ya min ^_^
BalasHapusBuruan yuk mampir di Y9POKER guys
*Minimal Deposit 10.000-,
*Minimal Withdraw 15.000-,
Disini kamu dapat mainkan 1 ID untuk semua game^__^
*Texas Poker *Capsa Susun
*Ceme *Bandar Capsa
*Ceme Keliling *Big Two (new game)
*Domino QQ
Y9POKER ada memiliki beberapa bonus menarik seperti
*Welcome Bonus 20%
*Bonus Referral 5%
*Bonus CashBack Mingguan 0.5%
*Bonus Next Deposit 5%
Pin BBM : E36DAA23
WA : +6285261535211
LINE : Y9POKER
Live Chat : Y9POKER(.)Com